Selasa, 29 Maret 2016

Mengapa Paliatif ? “In some respects, this century’s scientific and medical advances have made living easier and dying harder.” (Cassel CK and Field MJ dalam Emanuel & Librach, 2007)


(Oleh. Nadia Maria, Psikolog - Garwita Institute)
Penelitian di Amerika Serikat memperkirakan bahwa pada tahun 2050, 22% dari populasi pasien di sana akan hidup sampai usia 85 tahun atau lebih dan akan menghabiskan waktu 3 hingga 6 tahun sisa hidup dengan penyakit progresif (Blank & O’Mahony, 2007). Sementara itu, data Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat di Indonesia (2010) menunjukkan peningkatan usia harapan hidup. Jika pada tahun 2010 angka usia harapan hidup adalah sebesar 67.4 tahun, di tahun 2020 diperkirakan adalah sebesar 71.1 tahun. Data tersebut di satu sisi menunjukkan bahwa usia harapan hidup di beberapa tempat di dunia mengalami kenaikan karena semakin berkembangnya pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, namun di sisi lain peningkatan usia harapan hidup belum tentu diiringi peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Untuk dapat mempertahankan hidup, banyak pasien dan keluarganya mengeluarkan biaya sangat tinggi. Hal ini terutama dilakukan oleh pasien-pasien penderita penyakit kronis degeneratif yang melakukan segala upaya untuk dapat pulih. Namun demikian, karena kebutuhan pasien bersifat multidimensional, muncul banyak laporan atas pelayanan kesehatan yang dipandang pasien tidak sesuai harapan mereka. Oleh karena itu, muncullah sebuah paradigma baru yaitu perawatan paliatif (Teno, Emmanuel, & Desbiens dalam Blank & O’Mahony, 2007).
Paradigma perawatan paliatif menekankan pentingnya peningkatan kualitas hidup pasien dan caregivernya. Konsep kualitas hidup memang bersifat subjektif. Tetapi yang menjadi fokus perawatan paliatif adalah melakukan improvement manajemen rasa nyeri; mengefektifkan komunikasi pemberi layanan kesehatan, pasien, dan caregiver; serta memenuhi kebutuhan pasien yang bersifat multidimensional dari sudut fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Lebih jauh lagi, pemberi layanan kesehatan juga menjalin kerja sama dengan pekerja sosial guna memenuhi kebutuhan tersebut.
Bagi pasien penderita penyakit kronis yang sangat kecil kemungkinannya untuk dapat pulih, perawatan paliatif melihat kemungkinan untuk berbuat sesuatu lagi jika pasien kehilangan harapan. Walaupun tidak ada cure (pengobatan) yang dapat menolong, tetapi harus diberikan care (perawatan atau asuhan) sebaik-baiknya. Karena itu, fokus pelayanan tidak lagi atau tidak hanya pada tindakan medis yang lebih canggih supaya pasien pulih, tetapi tindakan tersebut lebih diarahkan pada menghilangkan nyeri. Tujuannya adalah agar pasien penyakit terminal tetap dalam keadaan nyaman dan bahkan dapat meninggal dunia dengan tenang (Bertens, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar