(Oleh. Nadia Maria, Psikolog - Garwita Institute)
Penelitian di Amerika Serikat
memperkirakan bahwa pada tahun 2050, 22% dari populasi pasien di sana akan
hidup sampai usia 85 tahun atau lebih dan akan menghabiskan waktu 3 hingga 6
tahun sisa hidup dengan penyakit progresif (Blank & O’Mahony, 2007). Sementara
itu, data Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat di Indonesia
(2010) menunjukkan peningkatan usia harapan hidup. Jika pada tahun 2010 angka
usia harapan hidup adalah sebesar 67.4 tahun, di tahun 2020 diperkirakan adalah
sebesar 71.1 tahun. Data tersebut di satu sisi menunjukkan bahwa usia harapan
hidup di beberapa tempat di dunia mengalami kenaikan karena semakin berkembangnya pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan, namun di sisi lain peningkatan usia harapan hidup belum tentu diiringi
peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Untuk dapat mempertahankan hidup,
banyak pasien dan keluarganya mengeluarkan biaya sangat tinggi. Hal ini
terutama dilakukan oleh pasien-pasien penderita penyakit kronis degeneratif
yang melakukan segala upaya untuk dapat pulih. Namun demikian, karena kebutuhan
pasien bersifat multidimensional, muncul banyak laporan atas pelayanan
kesehatan yang dipandang pasien tidak sesuai harapan mereka. Oleh karena itu,
muncullah sebuah paradigma baru yaitu perawatan paliatif (Teno, Emmanuel, &
Desbiens dalam Blank & O’Mahony, 2007).
Paradigma perawatan paliatif
menekankan pentingnya peningkatan kualitas hidup pasien dan caregivernya. Konsep kualitas hidup
memang bersifat subjektif. Tetapi yang menjadi fokus perawatan paliatif adalah
melakukan improvement manajemen rasa
nyeri; mengefektifkan komunikasi pemberi layanan kesehatan, pasien, dan caregiver; serta memenuhi kebutuhan
pasien yang bersifat multidimensional dari sudut fisik, psikologis, sosial, dan
spiritual. Lebih jauh lagi, pemberi layanan kesehatan juga menjalin kerja sama
dengan pekerja sosial guna memenuhi kebutuhan tersebut.
Bagi pasien penderita penyakit kronis
yang sangat kecil kemungkinannya untuk dapat pulih, perawatan paliatif melihat
kemungkinan untuk berbuat sesuatu lagi jika pasien kehilangan harapan. Walaupun
tidak ada cure (pengobatan) yang
dapat menolong, tetapi harus diberikan care
(perawatan atau asuhan) sebaik-baiknya. Karena itu, fokus pelayanan tidak
lagi atau tidak hanya pada tindakan medis yang lebih canggih supaya pasien
pulih, tetapi tindakan tersebut lebih diarahkan pada menghilangkan nyeri.
Tujuannya adalah agar pasien penyakit terminal tetap dalam keadaan nyaman dan
bahkan dapat meninggal dunia dengan tenang (Bertens, 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar